Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Khotbah Jum'at, Kedudukan dan Pelaksanaannya

Masalah Dalam Khotbah Jum'at, Kedudukan dan Pelaksanaannya.

Berbedan dengan shalat- shalat fardhu yang lain. Shalat Jum'at mengandung beberapa perkara yang harus difahami secara mendalam. Hal ini disebabkan karena shalat Jum'at memiliki ke-Khususan tertentu, seperti jumlah raka'atnya yang hanya diu raka'at padahal dikerjakan diwaktu dhuhur, wajib dilaksanakan dengan secara berjamaah dan juga ada khatibnya, perbedaan pendapat dalam pelaksanaannya bila berbenturan dengan hari raya dan masalah sah-tidaknya mengenai penggantian shalat Jum'at dengan shalat Dhuhur bula udzur (berhalangan) untuk melaksanakannya.


Hukum Khotbah Jum'at, Kedudukan dan Pelaksanaannya
Hukum Khotbah Jum'at, Kedudukan dan Pelaksanaannya

1. Kedudukan Khotbah Jum'at.

Para fuqaha (ahli hukum fiqh) sepakat bahwa syarat-syarat sah mendirikan shalat Jum'at meliputi beberapa hal yang diantaranya :

a. Shalat jum'at hendaklah dilaksankaan pada tempat yang permanen dan tidak berpindah-pindah atau tidak pada tempat yang memiliki sifat sementara saja. Dengan kata lain, tempat pelaksanaan shalat jum'at hendaknya dekat atau ditengah-tengah pemukiman penduduk, di desa, atau di kota.

b. Dilakukan dengan cara berjamaah, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa, jemaah tersebut hendaknya diikuti oleh minimal 40 orang, laki-laki seluruhnya dan ahli jum'at (bermukim ditempat shalat jum'at dan selalu shalat jum'at di tempat itu). Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa, minimal terdiri dari 3 makmum dan seorang imam, bahkan Al-Thabari berpendapat bahwa paling tidak jemaah terdiri dari imam dan seorang makmum. Sementara Imam Malik tidak membatasi jumlah jamaah, asalkan bukan 3 atau 4 orang. Baginya, batasannya adalah biasanya dalam satu perkampungan.

c. Dilaksanakan pada waktu shalat dhuhur dengan jumlah raka'at hanya 2 dan didahului dengan khutbah.

Berkenaan dengan khutbah jum'at, apakah diartikan sebagai pengganti dua rakaat dari shalat dhuhur ataukah sebagai memberi nasihat seperti halnya penyampaian nasihat-nasihat (ajaran-ajaran) agama pada umumya. Berawal dari hal ini, mungkin anda pernah mendengar pertanyaan, bagaimana hukum dan kedudukan khutbah jum'at, apakah termasuk syarat sah shalat jum'at atau tidak? jawabannya adalah sebagai berikut.

2. Hukum Khotbah Jum'at.

Jumhur (mayoritas) Fuqaha (ahli Fiqh) berpendapat bahwa khutbah jum'at merupakan syarat dan rukun shalat jum'at dan juga terdapat fuqaha lain yang berpendapat bahwa khutbah adalah merupakan hal yang khusus ketika hendak shalat, dan dianggap sebagai pengganti dua rakaat shalat dhuhur yang hilang. Karena itulah khutbah merupakan syarat shalat jum'at bahkan merupakan syarat shanya shalat jum'at.

Sedangkan sebagian fuqaha lain juga berpandapat berpendirian bahwa khutbah jum'at adalah dalam rangka memberikan nasihat - sebagaimana nasihat-nasihat yang lain - kepada jamaah jum'at. Karena itu, mereka menyimpulkan bahwa khutbah bukan merupakan pilar shalat jum'at.

Pedapat lainnya menyatakan bawha khutbah jum'atdalam pengertian yang sebenarnya adalah memberikan nasihat, tetapi menganggap bahwa khutbah jum'at sebagai khutbah khusus yang sudah ditetapkan syar'i.

Para ulama memberikan interpretasi pada kalimat "dzikrullah" (mengingat Allah) dengan arti khutbah, berikut ini adalah Ayat Al-Quran yang menjadi alasan utama para ulama mewajibkan khutbah jum'at tanpa melepaskan pengertian yang sesungguhnya yang artinya :

" Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah ( QS Al-Jumuah 62:9)"

Hal ini juga diperkuat pula dengan kebiasaan perbuaan Nabi (sunnah) yang selalu berkhutbah sebelum shalat jum'at, dan kita selalu diperintahkan untuk mengikutinya, sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya :

" Dari Ibnu Umar, " Rasulullah SAW. Berkhutbah dua khutbah pada hari jum'at dengan berdiri,d an beliau duduk diantara dua khutbah itu" ( Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).

3. Pelaksanaan Khutbah.

Terlepas dari apakah khutbah jum'at itu termasuk rukun atau syarat syahnya shalat jum'at, khutbah jum'at mempunyai kedudukan yang sangat penting sebab disamping berikan nasihat-nasihat, juga merupakan rangakaian yang tidak dapat dipisahkan dari shalat jum'at. Sekalipun demikian, mengenai pelaksanaanya masih diperdebatkan oleh para ulama. Seperti yang ditunjukkan pada saat sekarang ini dalam pelaksanaan khutbah ditengah-tengah masyarakat, ada yang hanya satu kali berdiri saja (satu khutbah) dan ada yang berdiri dua kali setelah diselingi duduk beberapa saat diantara keduanya (dua khutbah, khutbataini).

Seorang ahli Fiqh terkemuka, Ibnu Rusyd, dalam keryanya " Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al- Muqtashid" menerangkan bahwa perbedaan ini berasal dari perbedaan pendapat mengenai hukum duduk diantara dua khutbah (qu'ud baina al-khutbatain). Jika duduk itu dimaksudkan untuk istirahat bagi khatib, berarti duduk itu bukan merupakan syarat. Namun jika hal itu dianggap sebagai ibadah, berarti duduk itu merupakan syarat yang harus dikerjakan.

Dalam kaitannya dengan masalah ini, Imam Malik berpendapat bahwa (duduk untuk berpidah khutbah kedua) bukan merupakan sharat khutbah. Sementara Imam Syafi'i mengemukakan bahwa duduk merupakan syarat.

Dua padangan ini jelas berbeda, meski perbedaan tersebut hanya dalam soal pemahaman tentang arti duduk di antara dua khutbah. Jadi, tidak begitu prinsip. Dalam praktiknya tetap saja mereka mewajibkan dan melaksanakan dua khutbah. Hanya yang satu menganut pemahaman hukum dari segi lughawi saja dan yang lainnya dari syar'i.

a. Lughawiyyah.

Artinya, dua khutbah bagi kelompok yang lughawiyah adalah dua khutbah yang dibedakan hanya dengan ucapan hamdalah, sebagaimana kebiasaan dalam khutbah yang menggunakan bahasa arab. Kelompok ini mencakup dirinya dengan memahami hukum secara garis besar saja tidak serinci kelompok syar'iyyah.

b. Syar'iyyah.

Pada kelompok Syar'iyyah, dua khutbah itu dibedakan tidak hanya oleh lughat hamdalah, tetapi juga hingga tata cara fisik. Di dalam pelaksanaannya khutbah tersebut hanya diperhatikan duduk berdirinya, istirahatnya, kalimat yang diucapkannya, bahasa yang digunakannya, dan seterusnya. Berkenaan dengan kehati-hatian (ihtiyat) inilah para fuqaha lantas merumuskan rukun dan syarat khutbah " Note: - di sini tidak diuraikan lebih lanjud, silahkan buka kembali mengenai syarat dan rukun khutbah ini - yang salah satunya adalah duduk diantara dua khutbah dengan istirahat pendek.

Dijelaskan dalam sebuah hadits bahwa Nabi SAW, menyelenggarakan khutbah Jum'at dengan dua bagian khutbah dengan hadits yang artinya :

" Dari Ibnu Umar r.a, Bahwasanya Rasulullah SAW berkhutbah pada hari jum'at (dengan berdiri), kemudian duduk, kemudian berdiri dan berkhutbah. (Abu Ubaidillah) menerangkan " sebagaimana yang kalian kerjakan" (Hadits Riwayat Al- Tharmizi ).

Hadits ini, kata Abu 'Isa, hadits hasan lagi shahih, karena Ibnu Umar yang melihat secara langsung. Hadits senada juga  diriwayatkan olah Bukhari, Muslim, dan Nasa'i dengan redaksi yang berbeda-beda.

Maka dari itu, tata cara melaksanakan khutbah jum'at yang dilakukan oleh Nabi SAW, yaitu khutbah dengan duduk sebentar di antara dua khutbah.

4. Mendengarkan Khutbah. 

Mendengarkan khutbah jum'at merupakan hal yang sangat penting sebab memiliki pengaruh dengan hukum sah tidaknya malaksanakan shalat jum'at bagi yang tidak mendengarkan khutbah.

Begitu pentingnya kedudukan khutbah jum'at, sehingga mendengarkan merupakan keharusan yang diperintrahkan. Sementara mengerjakan hal-hal di luar pelaksanaan khutbah sangat dilarang, sebab selama khutbah berlangsung, orang yang mendengarkan khutbah diharuskan menjaga mulutnya untuk tidak berkata-kata, meskipun hanya satu kata, seperti kata perintah " diam" yang dilontarkan kepada yang lain. Meskipun tampaknya perintah ini baik, tapi (ternyata) termasuk dalam bentuk pelanggaran. Mereka yang melanggar ketentuan ini dikategorikan sebagai pelaksana shalat jum'at yang 'lagha' artinya, shalat jum'at yang dikerjakannya terancam batal, seperti disebutkan dalam hadits berikut yang artinya :

" Dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi SAW bersabda : ' apa bila engkau katakan kepada temanmu pada hari jum'at " diam" sewaktu imam berkhutbah, maka sesungghnya telah binasalah Jum'atmu' (Hadits Riwayat Bukhari)".

Lantas, bagaimanakah sikap kita saat khutbah sedang berlangsung? terhadap pertanyaan ini, maka para Fuqaha sepakat menjawab, bahwa yang terbaik adalah diam. Tetapi pembahasan tentang diam ini manjadi meluas yang diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Bersikap diam dalam rangka mendengarkan khutbah merupakan kewajiban, disamping sebagai ketetapan hukum khutbah. Pendapat ini dipegang kalangan jumhur fuqaha: Imam Malik, Imam Syafi'i, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal dan kalangan fuqaha lainnya. 

Di telah dibahas pula tentang hukum menjawab salam dan menjawab doa orang yang bersin saat khutbah jum'at berlangsung. Ada yang membolehkan mengucapkan  doa bagi orang yang bersin (dengan 'yarhamukallah') dan membalas salam, karena ada amar wajib lain. 

Ini adalah pendirian Al-Tsauri, Al-Auza'i, dan lainnya. Sebagian fuqaha lainnya melarang membalas salam maupun menjawab doa orang yang bersin. Sekelompok ulama lainnya lagi membedakan antara membalas salam dengan mendokaan; membolehkan membalas salam, terapi melarang mendoakan orang yang bersin.

b. Bersikap diam hanya pada saat dibacakan ayat-ayat Al-Qur'an saja, dan meskipun khutbah tengah berlangsung boleh-boleh saja jamaah berbincang-bincang. Pendapat ini didukung oleh Al-Sya'bi, Sa'id bin Jubair dan Ibrahim Al- Nakha'i berdasarkan firman Allah yang artinya :

" Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikan dengan tenang agar kamu mendapat rahmat (QS Al-A'Raf  7: 204)".

c. Bersikap diam itu hanya jika dapat mendengar khutbah, bila khutbahnya tidak terdengar-karena masalah teknis atau alamiah (seperti tuli)- maka boleh saja berdiskusi ilmu pengetahuan, atau membaca tasbih, atau mengerjakan  hal-hal lainnya yang bermanfaat, selagi tidak mengganggu jamaah lainnya. Pendapat ini disampaikan oleh Imam Ahmad, Atha' dan sekelompok ulama lainnya.

Demikian ilasan singkat diatas semoga bermanfaat dan untuk lebih lengkapnya silahkan baca artikel lain yang berkaitan. Terimakasih.

Penulis : H. Mundzier Suparta, MA.

Penerbit : Karya Toha Putra_Semarang 2002